Oleh: Tika Anggreni Br Purba
Seorang perempuan, mantan tukang bangunan yang ternyata setiap hari lewat didepan Jalan Harmonika ini. “Ommbuuuuuuuuus-Ommbuuuuuuus”, begitu setiap pagi diteriakkannya, di jam yang sama setiap hari. Mungkin, mahasiswa yang masuk kuliah pagi-pagi yang berlomba mengejar waktu bersamanya. Mendengar suaranya setiap pukul 06.30 pagi, pasti membuat jengkel orang-orang yang masih ingin tidur. Bagaimana tidak, suaranya keras dan intonasi yang panjang. Setiap orang pasti berpikir dia adalah seorang wanita yang besar, dengan suara kerasnya mengimbangi suara elektronik penjual roti terkenal se-Indonesia yang sudah lewat sebelum dia.
Tubuhnya kurus dan kecil, kulitnya keriput. Benar, dia penjual ombus-ombus yang sering lewat itu. Berteriak sepanjang puluhan kilometer dari atas sepedanya supaya ada yang tergerak membeli kue dilapis daun dibalik gerobak kayu lapuk di boncengan. Siapa yang tidak mengenal ombus-ombus yang begitu terkenal itu, rasanya manis dan legit. Jika melihat keadaan zaman sekarang ini, tradisi yang sudah paling tua sekalipun tergerus zaman, sama seperti Ombus-Ombus, makanan tradisional yang mulai dikalahkan roti terkenal setanah air.
Boru Simanjuntak nya rupanya ibu ini, wajahnya terlihat bukan seperti orang Batak, mungkin karena perawakannya yang sangat kecil dan memakai topi besar berwarna merah muda. Ibu Masdawati, belum berumur, masih sekitar empat puluh tahun, bekerja menjual ombus-ombus setiap pagi, keluar masuk gang dengan suara teriakannya yang khas dan keras. Sudah empat tahun menggeluti profesi ini,” ah terlalu tinggi rasanya kalau dibilang profesi” , begitu katanya. Bisa saja dia berpikir, ombus-ombus adalah sebuah jalan menyambung hidup saja. Baiklah, kita sebut saja pekerjaan bukan profesi. Menjual ombus-ombus menjadi satu-satunya pilihan baginya untuk menyambung hidup dan membiayai kebutuhan hidup. Uang tentu memang alasan yang sangat rasional, ketika hidup dimasa apapun. Empat tahun setia dengan pekerjaan ini, ternyata Bu Masda punya alasan unik lain, “ Ombus-ombus kan masakan tradisi, maunya semua orang bisa makan ombus-ombus”. Alasan yang lucu, tapi rasanya, alasan itu sangat menggetarkan jiwa, di masa seperti ini, siapa lagi yang mengingat tradisi?
Pukul delapan malam, Bu Masda sudah mengaduk adonan ombus-ombus, lalu dengan tangan yang sudah terbiasa bertahun-tahun, dia kemudian membungkusnya dengan rapi sehingga kue nya berbentuk segitiga. Pekerjaan itu dikerjakannya sampai larut malam, lalu keesokan harinya, pagi-pagi sekali dikukus hingga matang. Kerutan-kerutan didahinya pun semakin bertambah, bukan saja memikirkan bagaimana mereka sekeluarga harus makan dihari itu. Tapi mungkin, dia tidak ingin memikirkan untung yang tak seberapa, dengan modal membuat ombus-ombus, sebesar seratus ribu rupiah.
Sama seperti dia yang hanya mengecap bangku pendidikan hingga sekolah menengah pertama, anak laki-lakinya yang kedua juga merasakan hal yang sama. Tidak bisa melanjutkan sekolah, alasan klasik namun nyata terjadi, apalagi kalau bukan kurang mampu. Suaminya hanya seorang tukang bangunan serabutan, tidak jelas penghasilan per harinya. Pasti sedih menjalani hidup seperti itu, tapi bukankah orang-orang yang seperti ini adalah orang paling bersyukur sedunia?
Bu Masda pernah juga menjadi kuli bangunan. Bagaimana mungkin seorang perempuan menjadi kuli bangunan? Tetapi itulah yang dikerjakan oleh bu Masda sebelum menjadi penjual ombus-ombus. Katanya “ ya,kerja meladeni tukang”. “kalau orang itu mintak paku, kukasi paku, kalau diminta kayu, batu, semen, akulah tukang antarnya” tambah bu Masda menuturkan. Seorang ibu dan seorang istri yang harus mengerjakan pekerjaan kasar, demi suami dan juga anak-anaknya. Syukurlah, karena pikiran dan kecintaannya pada ombus-ombus, dia tekun menggeluti pekerjaannya sekarang.
Sepedanya sebenarnya bukan sepeda yang layak pakai, lebih sering rusak dijalan dan harus dibawa ke bengkel. Kalau sudah lewat pagi hari, ombus-ombus sudah dingin, tentu tidak ada lagi yang membeli. Belum lagi, tidak mungkin semua orang akan makan ombus-ombus setiap hari. Orang pun akan bosan, belum lagi banyak penjual sarapan yang lebih elit sebagai saingannya. Menjual roti dalam kemasan dengan suara elektronik dengan pengeras suara. Bu Masda mungkin kalah saing. Tetapi itu tidak memudarkan semangat perjuangannya. Katanya, ini tradisi dan rezeki. Ombus-ombus makanan tradisi dan juga membawa rezeki padanya, walaupun tidak menentu. Kalau ombus-ombus tidak habis terjual, Bu Masda akan berbagi dengan tetangganya. Ombus-ombus yang tidak terjual diberikan kepada tetangga, atau jika sangat membutuhkan uang, dia menjualnya lagi di sore hari, disaat banyak orang berleha.
Adonan tepung beras, kelapa dan gula itu yang menjadi teman Bu Mazda setiap pagi-pagi buta. Dengan polosnya dia berkata dia sangat senang dengan pekerjaannya. Keuntungan hanya dua puluh lima ribu sehari, itupun kalau ada rezeki. Pernah juga, Ombus-ombusnya tidak terjual satu pun. Tetapi suara keras dan panjangnya, masih terdengar setiao pagi. Pernah juga, sebelum dia punya sepeda, dia harus menjunjung ombus-ombus yang panas diatas kepalanya, berjalan keluar masuk gang. Demi sebutir nasi dan harapan.
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya sekolah. Namun mungkin, ombus-ombus belum bisa meyekolahkan seseorang. Barangkali, perlu bertahun-tahun lagi dia berharap, agar anaknya bisa melanjutkan sekolah lagi. Siapapun tidak ingin lagi menumpang dirumah kontrakan, satu-satunya harapan terbesarnya mungkin adalah memiliki rumah sendiri. Bu masda tidak mengharapkan pekerjaan lain, dia ingin setia pada ombus-ombus. Mungkin rasa manisnya, membuat dia lebih bisa menghadapi hidup. Walau hidup, tidak semanis Ombus-ombus.
Friday, October 14
Ommbuuuuuus-Ombuuuusss...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
nice posting,.. inspiratif bgt :D
ReplyDelete