Pekabaran Injil oleh Belanda di Medan dibuktikan dengan keberadaan gereja tua GPIB Immanuel Medan. Gereja yang terkenal dengan gereja Ambon ini memang telah dijadikan cagar budaya oleh pemerintahan kota Medan. Kerap kali orang-orang yang berwisata ke Medan singgah ke gereja yang telah berdiri sejak tahun 1921 ini.
Nilai historis bangunan ini tidak hanya terletak pada jenis bangunannya saja, tetapi juga pada awal pendiriannya. GPIB Immanuel adalah gereja pertama yang berdiri di Kota Medan. Gedung gereja ini terletak di Jalan Diponegoro No 25-27 Medan. Sambutan keasrian lingkungan sekitar gereja menyambut setiap orang begitu menjejakkan kaki di halaman depan. Tidak ada keributan, hanya terdengar beberapa pekerja yang lalu lalang membereskan pekerjaan mereka masing-masing.
Pesona gereja ini dilambangkan pada cat putih kusam yang mewarnai dinding gedung yang kokoh. Bangunan ini tidak terlampau besar, namun kemegahannya terasa dari setiap detail gedung. Dengan menara yang berbentuk kubah dan jam dinding di masing-masing sisinya menambah kekayaan aksitektur yang bernuansa Belanda kuno. Pintu dengan cat coklat tua menyambut harapan-harapan setiap pengunjung, yang mungkin ingin berdoa atau sekadar berkunjung ke cagar budaya ini.
Kubah pada menara gereja ini yang membedakan desainnya dengan gereja-gereja lain di Medan. Kubah tersebut kental sekali dengan peninggalan Belanda yang memang melakukan penyebaran agama Kristen pada masa lalu. Setiap jam dinding yang berada di masing-masing sisi gereja tampak tak berfungsi lagi. “Sebenarnya kita bisa naik ke atas menara dan memperbaiki jam itu, namun kondisi jarum jam dan mesin jam yang sudah karatan, sehingga tidak bisa berfungsi lagi” kata Devi salah satu pekerja di rumah Tuhan itu. Dalam gereja tersebut terdapat pula lonceng yang jika berdentang sejauh tiga kilometer.
Kekokohan gedung gereja ini terlihat dengan desain atap yang terbuat dari kayu besi yang tersusun rapi membentuk atap tidak lazim namun sangat menarik. Mungkin, jenis atap yang seperti itu tidak ada digunakan gedung manapun di Medan. Saat memasuki gereja yang dialasi dengan karpet merah, suasana teduh dengan aroma khas merasuk. Desain interior gedung ini benar-benar memberi nuansa alamiah untuk bersekutu dengan Sang Pencipta.
Gedung ini didominasi kayu. Kayu pada mimbar, kursi-kursi jemaat, kotak persembahan dan plafon yang menghiasi langit-langit. Kursi-kursi jemaat tersusun rapi, langsung terbayangkan bagaimana ibadah zaman colonial Belanda berlangsung pada tempat itu. Gantungan lampu hias yang sangat indah juga menambah pesona gereja itu, Nampak lampu gantung hias tersebut tidak hanya menambah terang, namun memancarkan kemegahan dan kemuliaan. Langit-langit yang melengkung mengingatkan pada gedung-gedung peninggalan Belanda.
Jemaat Mula-Mula Hindia Belanda
Pada mulanya, gereja ini merupakan tempat peribadatan anggota-anggota Gereja Protestan di Hindia Belanda dengan nama “Indische kerk” atau “Staatskerk”. Kemudian dengan hak eigendom, gereja tersebut diserahkan kepada walikota Medan. Semasa pendudukan Jepang, gedung gereja ini dipergunakan sebagai gudang, sehingga jemaat yang sebelumnya melakukan ibadah ditempat itu pindah ke gereja Gerefmeerd atau yang dikenal GKI sekarang ini. Pergantian anggota jemaat juga terjadi sesudah perang dunia yang kedua, gedung gereja dipergunakan oleh jemaat dari gereja Anglican (Inggris).
Tidak banyak yang berubah dari gereja ini sejak dulu, perubahan hanya dilakukan di bagian gereja yang sudah sangat rusak. Salah satu perbaikan yang dilakukan adalah penggantian lantai yang terbuat dari papan dengan ubin pada tahun 1948. Selain itu, renovasi dilakukan juga pada plafon yang rusak dimakan rayap.
Sampai tahun 1948, ibadah dilakukan dengan bahasa Belanda. Pendeta yang memimpin jemaat saat itu adalah pendeta Uktolseja. Kebanyakan jemaat yang beribadah di gereja itu adalah pegawai-pegawain pemerintahan Belanda. Jarang ditemukan orang pribumi pada gereja itu. Namun tahun 1949 ibadah telah menggunakan dua bahasa yakni bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Saat ini kepemilikan gereja ini ada pada GPIB (Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat) Jemaat Immanuel. Immanuel sendiri berarti “Tuhan beserta kita”. Pendeta pertama saat gereja ini resmi menjadi GPIB adalah Pendeta P. Souhuka.
Bukti Kasih Semua Suku
Gereja ini sangat terkenal dengan sebutan gereja Ambon. Pasalnya, yang menjadi jemaat gereja ini dulunya adalah orang-orang dari Indonesia Timur yang keturunan Belanda. Seperti Ambon, Maluku, Nusa Tenggara dan Manado. Selain keturunan Belanda, banyak orang-orang dari Indonesia Timur yang menjadi jemaat karena dibawa dan dipekerjakan di perkebunan Medan pada masa pemerintahan Belanda.
Namun istilah “gereja Ambon” itu hanyalah sebuah istilah. Saat ini beragam suku menjadi jemaat di gereja yang digembalakan oleh Pdt. Murwanto Moesarmoe ini. Jemaat GPIB Immanuel terdiri dari berbagai suku, mulai dari Batak, Ambon, Jawa dan Nias. Jemaat pun kian tahun kian bertambah. Kapasitas gereja sebenarnya hanyalah sekitar 300 orang. Sehingga majelis gereja membuat tiga kali jadwal ibadah kebaktian setiap hari Minggu, hal ini dilakukan untuk menampung jemaat yang terdiri dari 600 Kepala Keluarga saat ini.
Ada empat orang Oma yang dilayani di gereja ini, mereka tinggal di sebuah rumah tepat di belakang gereja. Pelayanan kasih ini yang tetap dilanjutkan gereja ini sampai saat ini.
No comments:
Post a Comment