Thursday, February 2

BAPA TUA

Siapa pun tidak patut disalahkan dengan kondisinya saat ini. Bagaimanapun dia memang sudah tidak bisa lagi berjalan. Bukan tidak diberikan pengobatan oleh Opungku, tetapi sudah segala cara dilakukan , hasilnya nihil kakinya semakin lama semakin mengecil. Zaman dulu mungkin langka seperti itu, dia tidak menangis saat dilahirkan, namun sejenak setelah itu, dia terus menangis kecuali sedang tidur. Itu cerita Opungku pada kami cucu-cucunya.
Bagaimana mungkin bisa bersekolah dengan kondisi seperti itu, kakinya tidak bisa berjalan, dia terus merangkak dan merangkak untuk melakukan segalanya. Sewaktu aku mulai mengenalinya sendiri, karena dia adalah abang ayahku. Aku menatapnya lekat-lekat, pemikiran anak kecil,yang terpikirkan olehku hanyalah satu : Dia Bapa Tua.
Ingatanku yang paling kuat adalah ketika aku berkunjung kerumahnya sewaktu aku kecil, kira-kira masih SD. Dia mengatakan rambutku seperti rambut bintang film, karena rambutku memang ikal dan sedikit mengembang. Lalu aku merajuk dan dia merayuku dengan memberikan permen buatku. Itu ingatan masa kecil ku.
Banyak hal yang sebenarnya tidak kupahami saat aku kecil, tetapi sekarang seiring dengan pertumbuhanku, aku semakin mengerti betapa sebenarnya hidup ini sangat berat. Lalu saat ini aku pun mulai berpikir, bagaimana dengan hidup Bapa Tua? Kalaulah aku berpikir terlalu idealis maka aku akan memaksanya seperti orang yang berada di televisi, yang tetap melakukan segala sesuatunya dengan semangat. Ah, aku bahkan mulai berpikir bahwa semua yang ditayangkan di televisi itu hasil rekayasa.

Bapa Tua dengan rendah hati atau mungkin pasrah saja melihat semua adik-adiknya pergi bersekolah setiap harinya, berjalan kaki dan menyusuri jalan-jalan dengan kaki mereka. Tetapi Bapa Tua tidak, dia dirumah menjaga adik-adiknya yang lainnya yang belum bersekolah. Sebenarnya aku tidak habis pikir, kalau aku seperti itu aku akan menjadi anak yang sangat manja dan meratapi diri sendiri. Tetapi Bapa Tua tidak, dia bahkan mau belajar dan diajari. Terus terang saja, soal hitung-menghitung aku sangat jauh darinya. Bapa Tua tidak pernah bersekolah. Abang ayahku ini, hanya merangkak kesana-kemari, kemana saja dia selalu diperhatikan orang yang belum mengenalnya. Badannya besar tetapi kakinya kecil, dia hanya merangkak.
Sebagai lelaki tertua dikeluarga, hanya dia yang belum menikah saat aku sudah mulai beranjak remaja. Aku tidak tahu aku memikirkan apa dahulu, tetapi aku senang sekali saat dia menikah, walaupun dengan seorang janda. Aku berpikir, istrinya akan sangat baik merawatnya dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Tetapi tidak, Bapa Tuaku ditinggalkannya. Oh, lalu aku berpikir bagaimana lagi ini? Aku tidak bisa menahan kalau aku begitu miris melihat hidupnya. Kakinya lumpuh, tidak bisa mendapat pendidikan formal dimasa kecilnya, ditinggalkan oleh istrinya dan dia harus mengurus anak laki-lakinya yang masih kecil sendirian dengan keterbatasannya.
Aku selalu ingin bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dirasakan Bapa Tua? Sungguh aku takut jika dia menyerah. Hidupnya sudah hampir setengah abad, aku selalu bertanya apakah dia bersukacita? Apa dia pernah merasakan bahagia?
Aku pun jarang bertemu dengannya, jarang berbicara dengannya, jarang berkomunikasi dengannya. Mungkin diam dan menerima yang dipilih Bapa Tua ku, mungkin dia juga sudah letih menangisi hidup, mungkin dia mulai apatis dalam hidupnya, mungkin juga.
Tapi mungkin tanpa disadarinya, dia telah memberi motivasi yang sangat besar bagiku, aku yang akan memberi kegembiraan buatnya, aku yang akan berjuang sekolah, aku yang akan membantunya kelak. Semoga dia mendoakanku.

No comments:

Post a Comment