Monday, February 10

NELSON ROHILAHLA MANDELA


HITAM DAN PUTIH ADALAH MILIK SEMUA ORANG
Mandela menghabiskan masa kecil di Thembu, Afrika Selatan, sebuah tempat kecil bertaburan “adat, ritual dan tabu”. Mandela adalah putra seorang kepala suku Thembu bernama Gadla Henry Mphakansyiwa. Mandela menggembalakan sapi dan menghabiskan waktunya bersama anak-anak lain di desa itu. Usia tujuh tahun, Mandela menjadi orang pertama di keluarganya yang menginjak bangku sekolah. “Tak satupun di keluargaku yang pernah bersekolah. Pada hari pertama sekolah, guruku, Miss Mdingane, memberikan nama Inggris kepada setiap murid. Ini adalah kebiasaan orang Afrika waktu itu dan tentunya dikarenakan pengaruh Britania pada pendidikan kami. Hari itu, Miss Mdingane memberitahuku bahwa nama baruku adalah Nelson. Aku tidak tahu mengapa ia memilih nama itu_Mandela 1994.

Mandela dilahirkan di keluarga penganut Kristen yang taat, oleh karena itu Mandela dibabtis sebagai Methodis. Dia kehilangan ayahnya pada usia sembilan tahun karena penyakit paru-paru yang akhirnya membuat ibunya memutuskan menitipkannya sebagai asuhan bupati di istana “Great Place” di Mqhekezweni, akhirnya Mandela dibesarkan disana oleh asuhan Jongintaba dan Noengland. Ketertarikannya akan sejarah Afrika dimulai sejak ia mulai sering mendengarkan cerita-cerita pengunjung istana yang tua.

Untuk dapat menjadi anggota dewan penasihat untuk keluarga raja Thembu, Mandela harus mengenyam pendidikan menengah di Clarkeburry Boarding Institute di Engboco, institusi bergaya Barat yang merupakan sekolah Afrika berkulit hitam terbesar di Thembuland. Tahun 1937, ia pindah ke Healdtown dan melanjutkan pendidikan di perguruan Methodis di Fort Beaufort. Kemudian Mandela mengambil gelar Bachelor of Arts (BA) di University of Fort Hare, institusi kulit hitam di Alice, Eastern Cape. Mandela mempelajari bahasa Inggris, antropologi, politik, pemerintahan pribumi dan hukum Belanda romawi saat itu. Namun, karena Mandela terlibat aksi boikot students’ Representative Council (SRC) terhadap kualitas makanan, ia di skors sementara dari universitas. Hal ini kemudian menyebabkan Mandela meninggalkan kuliahnya tanpa sebuah gelar.

Mandela memutuskan pergi ke Johannnesburg pada tahun 1941 karena tidak senang akan pengaturan pernikahan yang diatur oleh Jongintaba. Disana, dia bekerja sebagai pengawas malam di Crown Mines sebelum akhirnya dipecat dan melanjutkan pekerjaan sebagai articled clerk di firma hokum Witkin, Sidelsky dan Edelman.
Pada masa itu, Mandela sering menghadiri pertemuan-pertemuan komunis karena di partai tersebut orang Eropa, Afrika, India berbaur satu sama lain. Namun Mandela menolak bergabung ke dalamnya karena sifat ateisme komunis yang bertentangan dengan kepercayaannya. Akhirnya untuk melanjutkan pendidikan tingginya, Mandela mengikuti kursus korespondensi di University of South Africa. Kebiasaannya tak berbeda dengan mahasiswa lainnya, mengerjakan tugas akhirnya pada malam hari. Mandela bergabung disalah satu partai yaitu Partai Kongres Nasional Afrika (ANC), yang kemudian dianggap sebagai perbuatan menentang pemerintahan rezim kulit putih pada masa perjuangannya sebagai aktivis anti-apharteid.

Ada kisah haru pula yang terekam dalam perjalanan hidupnya, karena akhirnya Jongintaba memaafkan Mandela yang telah melarikan diri darinya. Setahun setelahnya, pada musim dingin, bupati yang telah mengasuhnya meninggal dunia. Mandela terlambat menghadiri pemakaman orang yang telah menggantikan orang tua nya itu.

MENIKAH TIGA KALI
Pada tanggal 5 Oktober 1944, Mandela menikahi seorang perawat yang bernama Evelyn Mase. Mereka tinggal di rumah sewaan pada waktu itu. Mandela dikaruniai empat orang anak melalui pernikahannya dengan Evelyn. Anak pertama mereka Madiba Thembi Thembekile dan Makgatho Mandela menyusul kemudian, dua orang putri bernama Makaziwe Mandela, namun putri pertama mereka meninggal pada usia Sembilan bulan.
Pernikahannya yang kedua setelah bercerai dengan Evelyn adalah dengan Winnie Madikizela-Mandela. Winnie merupakan pekerja sosial berkulit hitam pertama di Transkei pada masa itu. Melalui Winnie, Mandela dikaruniai dua orang putri yaitu Zenani dan Zindziswa. Namun akhirnya pernikahan ini berlangsung tidak awet karena mereka bercerai pada tahun 1996. Pernikahannya yang ketiga dilaluinya saat berusia delapan puluh tahun dengan Graca Machel.

HITAM DAN PUTIH ADALAH MILIK SEMUA ORANG
Mandela menjadi pelopor perjuangan anti-apartheid. Perjuangan untuk menghapus perbedaan antara orang kulit putih dengan kulit hitam merupakan perjuangan yang tidak bisa dilupakan oleh seluruh manusia di dunia. karena sistem Apharteid membatasi berbagai bidang kehidupan di Afrika. Karena perjuangannya tersebut, Mandela ditahan dengan tuduhan “Pengkhianatan tinggi” terhadap negara. Beberapa kali Mandela mengalami penahanan karena tuduhan menghasut buruh untuk melakukan mogok kerja tanpa izin. Pada masa itu Mandela menunjukkan penentangan terhadap rasisme. Penangkapan demi penangkapan terus dialami oleh Mandela dalam perjuangan tersebut. Kerap kali Mandela dianggap sebagai penyerobot komunis. Padahal masa itu, Mandela dan teman-teman seperjuangannya mendapat perhatian internasional, banyak pihak yang meminta pembebasannya, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, pemerintah Afrika Selatan mengabaikantuntutan-tuntutan itu.
Mandela menghabiskan seperempat hidupnya di penjara, selama 27 tahun. Beliau ditahan dalam sel beton lembab berukuran 2,4 meter yang dilengkapi jerami untuk tidur. Lawan politik Mandela adalah dalang penahanannya. Mandela menjadi seorang yang memperjuangkan persamaan hak antara warga kulit hitam dan kulit putih. kesenjangan sosial dan pendidikan yang timpang terjadi. Segala sesuatunya hanya boleh dikuasai oleh warga kulit putih, bahkan sampai warga kulit hitam tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan, padahal di Afrika Selatan mayoritas penduduknya berkulit hitam. Demi perjuangannya itu, Ia sering ditindas secara verbal dan fisik oleh penjaga berkulit putih. Disana, para tahanan Pengadilan Rivonia menghabiskan waktu dengan memecah batu. Pada masa itu, perjuangan skala kecil tetap dilakukan Mandela, demi perbaikan kondisi penjara. Mereka kemudian melakukan aksi mogok makan. Pada tahun pertama di penjara, ibunya meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian anak tertuanya juga tewas dalam sebuah keclakaan. Namun disaat pemakaman kedua orang terkasihnya, Mandela tidak diijinkan menghadirinya.

Ketertarikan dunia internasional untuk perjuangannya bermula pada tahun 1978 pada ulang tahun Mandela yang ke 60. Ia kemudian mendapat gelar doktoral kehormatan di Lesotho, India. Slogan “Free Mandela!” dicetuskan oleh Percy Qozoba dan mengawali kampanye internasiolan yang memaksa dewan keamanan PBB menuntut pembebasannya. Namun ternyata, tekanan besar dari luar negeri tetap ditolak pemerintah, pemerintah bergeming, dan tetap menganggap Mandela seorang teroris komunis. Namun, seluruh dunia menghargainya sebagai tokoh heroik. Fokus utama perjuangan Mandela bukanlah soal pemberontakan bersenjata. Harapan Mandela saat itu adalah agar pemerintah menyepakati negosiasi sebagai upaya perdamaian pada kalangan mayoritas kulit hitam dan memberi mereka hal suara di pemilu nasional dan lokal.

Mandela akhirnya diberikan kepercayaan memimpin Afrika Selatan pada tahun 1994-1999. Dia menjadi presiden Afrika Selatan berkulit hitam pertama. Mandela hidup sederhana dengan menyumbangkan sepertiga gaji tahunannya ke Nelson Mandela Children’s Fund yang didirikannya pada tahun 1995. Saat menjabat sebagai presiden, Mandela seringkali memakai kemeja batik yang sering disebut kemeja Madiba. Mandela dikenal sebagai “bapak bangsa” yang dipandang sebagai pembebas bangsa. Sebagai penghargaan pusat perbelanjaan Sandton Square berubah nama menjadi Nelson Mandela Square. Patung Mandela juga dipasang disana dan di Groot Drakeinstein Correctional Centre juga di Penjara Vicor Verster. Mandela juga mendapatkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 1993. Bahkan, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan hari lahirnya, 18 Juli sebagai “Hari Mandela” yang menandakan kontribusinya untuk perjuangan anti Apartheid.
“Kami, rakyat Afrika Selatan menyatakan kepada seluruh negeri dan dunia; Bahwa Afrika Selatan adalah milik semua orang yang tinggal didalamnya, hitam dan putih, dan tak satu pemerintahan pun yang dapat mengklain kekuasaan kecuali berdasarkan keinginan rakyat” begitu kalimat pembuka Piagam Kebebasan yang disampaikan Mandela dalam perjuangan Anti-Apharteid yang dilakukannya.

“Bangsa kami kehilangan putra terbaiknya, itulah kalimat pertama yang disampaikan oleh Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma saat menyampaikan pernyataan resmi atas meninggalnya tokoh pejuang anti apartheid dari Afrika Selatan ini 6 Desember 2013 silam.


GPIB Immanuel Medan: Jejak Sejarah, Simbol Kasih Sejati




Pekabaran Injil oleh Belanda di Medan dibuktikan dengan keberadaan gereja tua GPIB Immanuel Medan. Gereja yang terkenal dengan gereja Ambon ini memang telah dijadikan cagar budaya oleh pemerintahan kota Medan. Kerap kali orang-orang yang berwisata ke Medan singgah ke gereja yang telah berdiri sejak tahun 1921 ini.

Nilai historis bangunan ini tidak hanya terletak pada jenis bangunannya saja, tetapi juga pada awal pendiriannya. GPIB Immanuel adalah gereja pertama yang berdiri di Kota Medan. Gedung gereja ini terletak di Jalan Diponegoro No 25-27 Medan. Sambutan keasrian lingkungan sekitar gereja menyambut setiap orang begitu menjejakkan kaki di halaman depan. Tidak ada keributan, hanya terdengar beberapa pekerja yang lalu lalang membereskan pekerjaan mereka masing-masing.

Pesona gereja ini dilambangkan pada cat putih kusam yang mewarnai dinding gedung yang kokoh. Bangunan ini tidak terlampau besar, namun kemegahannya terasa dari setiap detail gedung. Dengan menara yang berbentuk kubah dan jam dinding di masing-masing sisinya menambah kekayaan aksitektur yang bernuansa Belanda kuno. Pintu dengan cat coklat tua menyambut harapan-harapan setiap pengunjung, yang mungkin ingin berdoa atau sekadar berkunjung ke cagar budaya ini.

Kubah pada menara gereja ini yang membedakan desainnya dengan gereja-gereja lain di Medan. Kubah tersebut kental sekali dengan peninggalan Belanda yang memang melakukan penyebaran agama Kristen pada masa lalu. Setiap jam dinding yang berada di masing-masing sisi gereja tampak tak berfungsi lagi. “Sebenarnya kita bisa naik ke atas menara dan memperbaiki jam itu, namun kondisi jarum jam dan mesin jam yang sudah karatan, sehingga tidak bisa berfungsi lagi” kata Devi salah satu pekerja di rumah Tuhan itu. Dalam gereja tersebut terdapat pula lonceng yang jika berdentang sejauh tiga kilometer.
Kekokohan gedung gereja ini terlihat dengan desain atap yang terbuat dari kayu besi yang tersusun rapi membentuk atap tidak lazim namun sangat menarik. Mungkin, jenis atap yang seperti itu tidak ada digunakan gedung manapun di Medan. Saat memasuki gereja yang dialasi dengan karpet merah, suasana teduh dengan aroma khas merasuk. Desain interior gedung ini benar-benar memberi nuansa alamiah untuk bersekutu dengan Sang Pencipta.
Gedung ini didominasi kayu. Kayu pada mimbar, kursi-kursi jemaat, kotak persembahan dan plafon yang menghiasi langit-langit. Kursi-kursi jemaat tersusun rapi, langsung terbayangkan bagaimana ibadah zaman colonial Belanda berlangsung pada tempat itu. Gantungan lampu hias yang sangat indah juga menambah pesona gereja itu, Nampak lampu gantung hias tersebut tidak hanya menambah terang, namun memancarkan kemegahan dan kemuliaan. Langit-langit yang melengkung mengingatkan pada gedung-gedung peninggalan Belanda.

Jemaat Mula-Mula Hindia Belanda

Pada mulanya, gereja ini merupakan tempat peribadatan anggota-anggota Gereja Protestan di Hindia Belanda dengan nama “Indische kerk” atau “Staatskerk”. Kemudian dengan hak eigendom, gereja tersebut diserahkan kepada walikota Medan. Semasa pendudukan Jepang, gedung gereja ini dipergunakan sebagai gudang, sehingga jemaat yang sebelumnya melakukan ibadah ditempat itu pindah ke gereja Gerefmeerd atau yang dikenal GKI sekarang ini. Pergantian anggota jemaat juga terjadi sesudah perang dunia yang kedua, gedung gereja dipergunakan oleh jemaat dari gereja Anglican (Inggris).

Tidak banyak yang berubah dari gereja ini sejak dulu, perubahan hanya dilakukan di bagian gereja yang sudah sangat rusak. Salah satu perbaikan yang dilakukan adalah penggantian lantai yang terbuat dari papan dengan ubin pada tahun 1948. Selain itu, renovasi dilakukan juga pada plafon yang rusak dimakan rayap.

Sampai tahun 1948, ibadah dilakukan dengan bahasa Belanda. Pendeta yang memimpin jemaat saat itu adalah pendeta Uktolseja. Kebanyakan jemaat yang beribadah di gereja itu adalah pegawai-pegawain pemerintahan Belanda. Jarang ditemukan orang pribumi pada gereja itu. Namun tahun 1949 ibadah telah menggunakan dua bahasa yakni bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Saat ini kepemilikan gereja ini ada pada GPIB (Gereja Protestan Indonesia di Bagian Barat) Jemaat Immanuel. Immanuel sendiri berarti “Tuhan beserta kita”. Pendeta pertama saat gereja ini resmi menjadi GPIB adalah Pendeta P. Souhuka.

Bukti Kasih Semua Suku
Gereja ini sangat terkenal dengan sebutan gereja Ambon. Pasalnya, yang menjadi jemaat gereja ini dulunya adalah orang-orang dari Indonesia Timur yang keturunan Belanda. Seperti Ambon, Maluku, Nusa Tenggara dan Manado. Selain keturunan Belanda, banyak orang-orang dari Indonesia Timur yang menjadi jemaat karena dibawa dan dipekerjakan di perkebunan Medan pada masa pemerintahan Belanda.
Namun istilah “gereja Ambon” itu hanyalah sebuah istilah. Saat ini beragam suku menjadi jemaat di gereja yang digembalakan oleh Pdt. Murwanto Moesarmoe ini. Jemaat GPIB Immanuel terdiri dari berbagai suku, mulai dari Batak, Ambon, Jawa dan Nias. Jemaat pun kian tahun kian bertambah. Kapasitas gereja sebenarnya hanyalah sekitar 300 orang. Sehingga majelis gereja membuat tiga kali jadwal ibadah kebaktian setiap hari Minggu, hal ini dilakukan untuk menampung jemaat yang terdiri dari 600 Kepala Keluarga saat ini.
Ada empat orang Oma yang dilayani di gereja ini, mereka tinggal di sebuah rumah tepat di belakang gereja. Pelayanan kasih ini yang tetap dilanjutkan gereja ini sampai saat ini.