Karena ibu cinta Chacha kan Bu?
Oleh: Tika Anggreni Br Purba
090904033
Siapa yang menyangka, seorang gadis kecil yang bergelayut bosan diantara mobil-mobil mewah itu masih berusia empat tahun. Cahaya lampu kendaraan dan gedung-gedung mewah disekelilingnya tampak meredup dimatanya. Dia terlihat mengantuk, mencoba berjalan kesana-kemari membuntuti ibunya. Gadis kecil berusia empat tahun, menghabiskan malam bukan dengan menonton kartun atau mendengar cerita dongeng, mengisi hari bukan bersama boneka Barbie, tetapi terkantuk-kantuk diantara mobil-mobil mewah menemani ibunya mengais rezeki dipusat kota Medan yang bertabur pesona. Ibunya yang berbicara tanpa penerjemah alam.
Supriani (28), hanya seorang pedagang asongan di parkiran Merdeka Walk, Medan. Pusat wisata kuliner Medan tersebut, menjadi tempatnya mencari harapan dari pagi hingga hari menjadi pagi lagi. Pedagang asongan bersama sang putri kecil pemberi semangat hidupnya. Ibu dari gadis kecil nan lucu bernama Chacha ini bukan ibu yang sempurna bagi dunia. Empat tahun yang lalu, dunia komunikasinya berubah saat dia tidak mampu lagi berbicara dengan jelas diusia yang masih sangat muda. Setiap kata yang keluar dari bibirnya, tak akan mampu dimengerti orang lain yang tidak mengenalnya. Kata-kata yang terucap dari bibirnya, keluar seperti orang celah bibir berbicara. Padahal tidak ada yang salah terlihat pada bentuk bibir Supriani. Supriani tidak lagi mampu berbicara sefasih orang biasa, demi sebuah kehidupan.
Perempuan asal langkat ini baru beberapa bulan mengasong di pelataran parkir Merdeka Walk Medan. Sebelumnya beliau melakukan pekerjaan yang sama di daerah stasiun kereta api. Pekerjaan ini dilakoninya setiap hari dari pagi hingga pukul 02.00 dini hari. Menjual rokok dalam kotak yang dikalungkan dileher, dikerjakannya dengan berjalan kaki mulai dari Jalan Badur, kelurahan Hamdan kecamatan Medan Maimun yang merupakan daerah tempat tinggalnya dan berakhir di parkiran Merdeka Walk. Merdeka Walk menjadi tempat perhentian hingga akhirnya nanti pulang kerumah dini hari. Selama dia berjualan itu pula, Chacha selalu berada disampingnya. Menurut penuturan tukang becak sekitar, Chacha yang menjadi penyambung lidah bagi mereka yang tak mengerti apa yang diucapka supriani.
Dengan penghasilan yang tidak lebih dari cukup, setiap hari Supriani dan suaminya melakukan pekerjaan di jalanan. Mungkin saja, faktor kehidupan jalanan malam, mempengarushi segala segi kehidupan mereka. Mulai dari ekonomi, psikologis dan juga kesehatan. Ibu yang terus ditemani sang putri kecilnya ini masih saja dengan besar hati melakoni pekerjaan melelahkan ini. Supriani tidak memiliki kotak dagangan sendiri, sehingga dia harus menyewa kotak untuk meletakkan barang dagangannya berupa rokok dan mancis. Chacha anak semata wayangnya itu, selalu ikut dengannya. Bersama menelusuri jalan, makan bersama dari bekal yang mereka sediakan dari rumah, tampaknya dunia pun akan mengerti ada sesuatu yang mengikat ibu-anak ini.
Supriani mendapatkan barang dagangan melalui grosir yang disebutnya gudang rokok. Satu kotak dagangan biasanya akan habis setelah berjualan selama dua hari. Keuntungan juga tidak terlalu banyak. Kalau habis, hanya Rp 700.000/ bulan, ditambah lagi dengan penghasilan suami yang sama jumlahnya. Namun rasanya, jualan ditemani sang buah hati memberi semangat baru. Mungkin bumi pun bermaksud lain ketika Chacha harus terus menemani sang ibu, mungkin dunia sudah bosan dengan berbagai kisah tak menentu. Supriani juga sebenarnya tidak tega melihat Chacha yang masih sangat kecil, harus ikut berjualan bersamanya sampai dini hari. Sehingga setiap kali dia melihat Chacha sudah sangat mengantuk, dia akan menghubungi ayah Chacha agar menjemputnya dan mengantarnya kerumah.
Walaupun Chacha harus menghabiskan malam bukan seperti anak-anak lain, Supriani sangat memperhatikan Chacha, sehingga Chaca tumbuh menjadi anak yang sehat dan cantik. Orang pun tak menyangka dia hanya seorang anak pedagang asongan yang tidak dapat berbicara dengan fasih. Sebagai seorang ibu, yang tidak mengecap pendidikan Supriani adalah sosok yang sangat mengagumkan, saat disinggung tentang ketidakmampuannya berbicara, dia tetap sumringah dan tertawa ceria. Supriani tidak terlihat minder ataupun malu.
Sebenarnya, dulu Supriani dapat berbicara dengan lancar dan jelas. Sebuah kisah diceritakan olehnya, dia akhirnya tidak bisa berbicara dengan jelas ketika melahirkan Chacha, putri kecilnya. Panas tinggi dan sakitnya sampai ke ubun-ubun, begitu dijelaskan Supriani dengan antusias dengan bahasa tubuh dan ekspresinya. Dua tahun lamanya dia sakit setelah mengandung dan melahirkan Chacha, buah cintanya. Hingga akhirnya, entah siapa yang patut ditanyakan Supriani tidak dapat lagi berbicara dengan jelas. Dokter mungkin terlalu mahal bagi orang pinggiran sepertinya. Seorang mahasiswa kedokteran USU, Sonya (20) mendiagnosa ada tiga kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi,pertama saat proses melahirkan yang sakit, ada kelainan pada ligamentum Vocalis Supriani. Diagnosa sementara ada masalah pada faring. Kemungkinan kedua, daerah Broca berisi udara sehingga menyebabkan ganggungan berbicara, sedangkan kemungkinan ketiga adalah saat melahirkan tekanan darah meningkat, mungkin saat melahirkan, pembuluh darahnya pecah saat mengedan, tepatnya pembuluh darah broca yang menyebabkan gangguan berbicara. Tetapi satu hal mulia, Supriani memutuskan menikmati pengorbanan demi si buah hati pasca melahirkan itu. Hanya orang-orang yang peduli, yang mungkin mampu mengerti ucapannya, ucapan seorang ibu.
Sebagai seorang pedagang asongan dan hidup dijalanan tentulah tidak mudah, dengan kondisi diri yang tak bisa berbicara dengan jelas, belum lagi Chacha yang masih sangat kecil. Menurut penuturan Supriani, Chacha telah belajar membaca dan menulis walaupun dia belum sekolah, tersirat harapan dan kebanggaan di matanya saat menceritakan putrid kehidupannya itu. Chacha terus bergelayut malu-malu memeluk ibunya, Chacha kecil pun mungkin mengerti, Ibunya yang tak mampu berbicara dengan jelas lagi itu adalah ibu dengan cinta terbaik sedunia. Siapa yang tidak mau membalas cinta ibu, Chacha pun mengerti dalam kepolosannya, walaupun harus membayarnya tanpa boneka Barbie.